Pandemi COVID-19 telah menempatkan banyak industri kedalam jurang krisis. Industri, konsumsi dan penjualan ritel barang mewah tidak luput dari keganasan COVID-19 pada sektor ekonomi. Pandemi virus corona ini telah memangkas permintaan barang mewah secara global karena makin sedikitnya tempat untuk melihat, untuk berbelanja atau merasakan pengalaman memakai produk. Bahkan sepanjang tahun ini, industri barang mewah diramalkan terkontraksi 20 hingga 35 persen.
Menurut dalam laporan Bain & Company yang bekerjasama dengan Fondazione Altagamma, pasar barang-barang mewah telah menurun 25 persen pada kuartal pertama 2020. McKinsey memperkirakan hal yang lebih suram, yaitu pasar barang mewah global akan berkontraksi sebesar 35 hingga 39 persen pada tahun 2020.
Aktivitas memakai baju bagus, membeli pakaian baru dan mengikuti tren fashion adalah sebuah aktivitas yang sangat bergantung pada lingkungan sosial seperti berangkat kerja, pergi ke pesta, travelling atau sekedar terlihat cantik dimata orang lain. Tanpa adanya aktivitas sosial dengan berlakunya PSBB atau lockdown maka tidak ada gunanya lagi untuk berbelanja. Pemeriksaan suhu dan kewajiban memakai masker juga dipandang bukan sebagai kemewahan atau hal yang menyenangkan ketika berbelanja barang barang mewah.
Disamping itu, banyak konsumen kelas atas merasa bersalah apabila menunjukan pembelian barang mewah baru pada saat pandemi dan krisis ekonomi. Mereka memilih untuk menunjukan status sosial, keberdayaan ekonominya dan kepekaan sosial pada saat 'tinggal dirumah' dengan cara lain dibidang kesehatan dan vitalitas. Sebuah survey yang dilakukan oleh Spark Ideas pada konsumen barang mewah (mereka yang menghabiskan 2.000 dolar untuk pakaian dalam 12 bulan terakhir) menemukan bahwa kalangan atas memilih untuk membeli peralatan fitness high-end atau sepeda Brompton.
Bagi kalangan atas ini, menunjukan kebersamaan dengan keluarga juga menjadi simbol status sosial dan kesenangan tiada tara. Kebersamaan bersama keluarga, dikelilingi oleh mereka yang kita kasihi menjadi hak dan keistimewaan ditengah pandemi corona ketika banyak masyarakat yang lain harus berjuang untuk bertahan hidup secara ekonomi.
Akan tetapi kesenangan untuk memiliki barang high fashion ini tidak pernah akan surut meskipun ditengah pandemi corona. Produsen sepatu Nike yang bekerja sama dengan Dior meluncurkan Air Jordan 1 OG Sneaker, dilaporkan lebih dari 5 juta orang mendaftarkan diri untuk membeli sepatu seharga 2.000 - 2.500 dolar ini. Beberapa perilaku konsumsi barang mewah memang tidak terpengaruh pandemi COVID-19 bahkan semakin menonjol ketika terjadi kelangkaan barang atau rarity marketing.
Lockdown yang dilakukan disemua negara mulai dari China, Eropa, Amerika telah meruntuhkan pasar industri pariwisata. Penjualan barang mewah sebanyak 20 - 30 persen dilakukan diluar negeri. Pengalaman belanja telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pariwisata atau travelling. Terutama membeli barang mewah dinegara asal pemilik brand meningkatkan rasa autentisitas dan gengsi.
Di China sendiri setengah dari pembelian bawah mewah terjadi diluar negeri. Meskipun demikian penjualan barang mewah di Jepang dan seluruh Asia juga mengalami penurunan, namun dengan kecepatan yang lebih lambat. Di Eropa, penurunan penjualan barang mewah telah terjadi cukup lama. Penurunan penjualan pada produsen barang mewah skala kecil, independen butik dan perusahaan keluarga terjadi karena tren integrasi vertikal selama 20 tahun terakhir.
Baca : Perusahaan Yang Sukses Membukukan Laba Bersih Saat COVID-19
Menurut laporan yang dikeluarkan oleh Business Times Singapore, semua kategori barang mewah mengalami penurunan. Penurunan penjualan paling tajam dialami pada segmen aksesori. Jam tangan turun paling drastis karena kurangnya platform penjualan online untuk mengimbangi penutupan outlet dan toko offline. Terkecuali di Indonesia dimana konsumen lebih memilih untuk berbelanja di toko fisik terutama untuk fashion dan barang elektronik. Bila penjualan ingin tumbuh sama seperti tahun 2019 maka pemulihan sales baru akan terjadi pada 2022 atau 2023. Pertumbuhan pasar barang mewah secara bertahap dan bisa mencapai 320 miliar euro pada tahun 2025.
Perilaku Konsumen Indonesia Saat Pandemi COVID-19
Survey dari McKinsey, di Indonesia sendiri 61 persen dari responden melakukan penundaan dan membatalkan pembelian barang mewah seperti kendaraan. Sedangkan pada kategori perhiasan sebanyak 39 persen dan untuk produk perawatan kulit hanya 7 persen yang berniat membatalkan.
Pergeseran nilai dari kepemilikan menjadi pengalaman (experiential luxury) pada konsumsi barang mewah tidak dapat dihindari. Generasi millenial (lahir pada 1980 hingga 1995) yang lebih memilih pengalaman akan kemewahan dan Instagrammable moments daripada memiliki barang mewah itu sendiri. Termasuk didalamnya juga generasi Baby boomers (1946 - 1964). Pengalaman akan kemewahan seperti hotel mewah, resort, restoran hingga mobil telah menjadi sektor dengan pertumbuhan paling tinggi pada industri barang mewah selama beberapa tahun terakhir ini.
Pasar Luxury Good China Pulih
Harapan akan pulihnya penjualan konsumsi barang mewah saat pandemi COVID-19 muncul dari China. Berapa brand kelas atas mulai melaporkan peningkatan penjualan. Tiffany & Co melaporkan telah terjadi peningkatan tajam pertumbuhan penjualan ritel sebesar 30 persen pada bulan April dan 90 persen dibulan Mei 2020, walaupun secara global penjualan Tiffany masih turun 40 persen. Kenaikan penjualan juga dialami oleh Burberry dimana penjualan pakaian, tas dan aksesoris di China telah melampaui penjualan tahun lalu.
Baca : Cara Mengelola Bisnis Agar Tetap Untung Saat Pandemi
Fflur Roberts, kepala analisi riset luxury goods dari Euromonitor mengatakan bahwa peningkatan ini terjadi karena pengalihan anggaran belanja dari wisata ke barang mewah seperti tas Chanel. Pasar barang mewah di China menyumbang 35 persen dari semua penjualan diseluruh dunia. Diperkirakan akan menyumbang setengah dari total pasar dunia pada tahun 2025.
Perubahan strategi sangat diperlukan untuk menghadapi realitas baru dan new normal ini. Selama perjalanan masih dibatasi maka perusahaan harus membuat strategi lokal untuk setiap wilayah geografis. Strategi ini seperti bekerjasama dengan pemain lokal, membuka lebih banyak outlet hingga membuka toko online serta mengurangi ketergantungan pada wisatawan.
Ujung tombak penjualan pada masa pandemi ini terletak pada tenaga penjualan atau SPG yang memiliki hubungan baik dengan konsumen. Terjadi peralihan karena banyaknya konsumen yang berbelanja melalui WA. Hubungan yang baik antara SPG dan konsumen adalah aset yang sangat bernilai. Menurut Edgardo Osorio, direktur kreatif dari brand Aquaazzura, kehadiran fisik sangat dibutuhkan agar klien dapat mengerti dan memahami nilai dari produk.
Integrasi vertikal adalah akuisisi operasi bisnis atau perusahaan yang berada pada jalur vertikal atau dari hulu ke hilir. Keuntungan dari integrasi vertikal ini adalah meningkatkan keuntungan atau laba perusahaan dan memungkinkan brand untuk menjangkau konsumen lebih banyak.