Forever 21, perusahaan ritel yang asal Amerika Serikat itu akhirnya mengajukan pailit atau bangkrut, dan menutup sebanyak 178 gerai dari 800 lebih gerai yang dimilikinya. Dalam surat resminya, Forever 21 mengatakan kepada pelanggan bahwa keputusan menutup gerai berlangsung sembari menunggu hasil diskusi lanjutan dengan pemilik tanah. "Namun kami berharap sebagian besar gerai akan tetap beroperasi seperti biasa, dan kami tidak berharap akan keluar dari pasar utama di AS," ungkap Wakil Presiden Eksekutif Forever 21 Linda Chang.
Kemampuan untuk menyewa tempat dan menutup gerai dengan biaya lebih rendah adalah keuntungan utama yang diperoleh peritel dari proses pailit. Linda Chang mengatakan pengajuan status bangkrut adalah langkah penting yang diperlukan untuk mengamankan masa depan perusahaannya. "Hal itu memungkinkan kami untuk mengatur kembali bisnis kami dan mengatur ulang posisi Forever 21 setelah gagal bersaing" ujarnya.
Pailit merupakan status dari pengadilan niaga untuk seorang debitur ketika mengalami kesulitan keuangan untuk membayar utangnya kepada kreditur. Meskipun perusahaan ini telah menjual kantor pusatnya seharga 166 juta dolar.
Terlambat Adopsi Inovasi Teknologi
Forever 21 adalah peritel yang menghadapi risiko pelemahan bisnis karena terlambat melakukan inovasi serta kurangnya visi dari perusahaan di tengah meningkatnya aktivitas belanja online. Inovasi teknologi yang terlambat ditindak lanjuti ini disalahkan sebagai penyebab berkurangnya aktivitas transaksi ke mal dan toko konvensional. Tingkat utang yang tinggi, biaya sewa serta besarnya gaji dan bonus para petinggi perusahaan juga telah membebani peritel konvensional.
Peritel mengandalkan utang dan bukannya kreatifitas inovatif untuk membiayai pertumbuhan mereka selalu rentan terhadap perkembangan teknologi disruptif
Pengelola Forever 21 membangun gerai-gerai besar dengan luas 90 ribu meter persegi di jantung Times Square New York. Ketika banyak peritel mulai memangkas jaringan gerai mereka dalam beberapa tahun terakhir, Forever 21 terus menambah gerai pada 2016 tanpa memperhatikan tren bisnis dan teknologi sehingga akhirnya harus menelan pil pahit keputusan buruk mereka.
Data Coresight Research menunjukkan sepanjang tahun ini perusahaan ritel telah mengumumkan lebih dari 8.200 penutupan gerai, melebihi total tahun lalu yang sebanyak 5.589. Perusaah ritel ternama Payless dan Gymboree mengajukan status bangkrut untuk kedua kalinya, dan menutup hampir 3.000 toko. Coresight memprediksi pelemahan aktivitas ritel lebih lanjut diperkirakan akan menumpuk dan dapat mencapai 12 ribu pada akhir 2019.
Wet Seal, American Apparel and Delia mengajukan pailit dan menutup semua toko mereka selama lima tahun terakhir. Aeropostale mengajukan status bangkrut pada 2016, tetapi membiarkan beberapa toko tetap buka. Charlotte Russe juga mengajukan status bangkrut tahun ini.
Berdasarkan laporan Bloomberg, perusahaan telah mendiskusikan kebutuhan pinjaman tambahan untuk menopang kebutuhan likuiditas perusahaan. Saat ini, tim penasihat sedang berupaya membantu merestrukturisasi utang perusahaan. Namun, negosiasi dengan para pemberi pinjaman berpotensi terhenti karena semua rencana bisnis yang diajukan tidak dapat diterima kelayakannya. Forever 21 sedang mencari cara untuk mendapat debitur potensial yang memiliki pendanaan untuk mengambil alih perusahaan ke dalam tahap 11. Sampai dengan berita ini diturunkan, perusahaan enggan berkomentar terkait hal itu.
Gerai pakaian Forever 21 yang sebagian besar berlokasi di mal itu mengalami penurunan penjualan, di tengah persaingan ketat dalam industri ritel, terutama sejak munculnya tren penjualan via online. Forever 21 memiliki jaringan yang luas dengan memiliki hingga 815 gerai mewah di seluruh dunia pada awal tahun ini akan tetapi dengan pengajuan pailit yang merupakan cara yang digunakan peritel untuk tidak membayar biaya sewa tempat tersebut, sepertinya harus mengurangi hingga ratusan dari gerai mereka.
Forever 21 Janji Tidak Tutup Gerai Di Indonesia
Perusahaan ritel pakaian merek Forever 21 mengungkapkan aktivitas bisnis di Indonesia masih berjalan seperti biasa dan tak ada rencana untuk menutup tiga gerai yang beroperasi di DKI Jakarta. Pernyataan itu disampaikan sebagai tanggapan atas kabar bahwa Forever 21 Inc yang berbasis di Amerika Serikat mengalami kebangkrutan. "Tidak ada kabar penutupan, cuma memang kami down size saja," ujar salah seorang karyawan back office yang enggan disebut namanya.
Sebagai informasi, lisensi ritel merek Forever 21 di Indonesia dikelola oleh PT Fashion Studio Indonesia, anak usaha Sharaf Group yang berbasis di Dubai. Di Indonesia, terdapat tiga gerai Forever 21, yakni di Grand Indonesia Mall, Lippo Mall Puri, dan Mall Taman Anggrek. Diketahui, pengelola telah merampingkan gerai yang berada di Grand Indonesia pada tahun lalu. Dari semula berada di dua lantai menjadi hanya satu lantai. Tahun ini, pengelola juga merampingkan luas gerai di Lippo Mall Puri. Sedangkan gerai di Mall Taman Anggrek masih seperti semula.
Perusahaan ritel fesyen pusat Forever 21 dikabarkan mengalami kebangkrutan. Hal itu tercermin dari langkah perusahaan yang sedang mempertimbangkan pengajuan pailit sebagai upaya merestrukturisasi utang sewa tempat yang terlalu mahal.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah gerai ritel di Indonesia memang mengalami penurunan kinerja keuangan karena kurangnya kemampuan untuk melakukan invoasi dan branding. Beberapa di antaranya bahkan menutup gerai di beberapa cabangnya. Sebut saja Lotus Departement Store, Debenhams Indonesia dan GAP. Adapula merek sandang dengan level menengah ke atas seperti Clarks, Banana Republic, dan New Look.
Dari Orang Terkaya Amerika Hingga Bangkrut
Forever 21 didirikan pada 1984 dan bermula dari sebuah gerai kecil di Los Angeles oleh imigran Korea Selatan Do Won Chang dan istrinya, Jin Sook. Gerai itu berkembang dengan cepat di mal-mal pinggiran kota. Perusahaan menyempurnakan model pakaian terbaru dengan cepat dan murah membuatnya mampu menarik minat pelanggan. Pendiri Forever 21 yakni Jin Sook dan Do Won Chang tersingkir dari daftar jajaran orang kaya Amerika Serikat pada awal tahun ini.
Dikutip dari Forbes, kekayaan gabungan dari pasangan suami istri berdarah Korea Selatan itu sempat menyentuh angka fantastis sebesar 83 triliun rupiah pada 2015. Namun tahun ini kekayaannya anjlok menjadi hanya beberapa ratus milyar saja.