Lippo Lepas Dua Pertiga Saham Di OVO Guna Mendapatkan Suntikan Dana Segar

Lippo Lepas Dua Pertiga Saham Di OVO Guna Mendapatkan Suntikan Dana Segar

Mochtar Riady, pemilik Lippo Group, melepas dua pertiga sahamnya di layanan uang elektronik OVO. Alasannya, karena perusahaan ngos-ngosan terus membakar uang dengan menawarkan diskon, layanan gratis, hingga pengembalian tunai (cash back) kepada pengguna OVO.

Isu ini kembali ramai usai pendiri sekaligus pemilik Lippo Group Mochtar Riady mengungkap pihaknya akan menjual dua pertiga saham perusahaan OVO. "Bukan melepas, kami menjual sebagian. Sekarang (saham) kami mungkin tinggal 30 persen. Dua pertiga kami jual," kata Mochtar Riady dikutip dari Antara saat ditemui pada acara Indonesia Digital Conference 2019 di Jakarta.

Mochtar menegaskan alasan Lippo Group sebagai pemegang saham utama OVO menjual dua pertiga kepemilikan saham tersebut karena tidak kuat memasok dana atau 'bakar uang' dengan layanan gratis, diskon hingga 'cash back' yang diberikan OVO. OVO telah aktif memberikan promosi diskon dan 'cash back' untuk menjaring pengguna. OVO disebut-sebut menjadi penantang Gopay di pasar uang elektronik.

"Alasannya, terus bakar uang. Bagaimana kami kuat," kata Mochtar.

Maklum, sebagai pemegang saham utama, tentu Lippo Group harus merogoh kocek paling dalam untuk ritual bakar uang. Makanya, Mochtar mengaku menyerah. "Alasannya, terus bakar uang. Bagaimana kami kuat," ujarnya, kemarin. Keputusan Lippo tepat untuk melepas sebagian saham, semata-mata agar tidak terseret lebih jauh dalam bisnis OVO yang belum menghasilkan keuntungan. Dalam dunia start up, inovasi dan ketepatan dalam menggunakan metode growth hacking sangat diperlukan agar sumber keuangan dapat dipergunakan semaksimal mungkin dan tidak terbuang percuma

Hampir seluruh perusahaan rintisan (startup) unicorn yang memiliki valuasi lebih dari US$1 miliar di Indonesia masih merugi. Tak terkecuali OVO. "Kenapa (seluruh unicorn) masih merugi? Karena, dibandingkan pendapatan dan pengeluaran, lebih banyak pengeluaran," jelasnya.

Chief Communications Officer DANA Chrisma Albandjar tak menampik berbagai promo yang diberikan kepada masyarakat merupakan langkah perusahaan untuk berkembang dalam waktu singkat. Ia mengaku tak mudah memperkenalkan suatu hal yang baru kepada masyarakat. "Untuk pengenalan kartu saja berkembang butuh waktu hingga 50 tahun. Kami mempercepat adopsi pembayaran digital," terang dia.

Di sisi lain, ia menyebut layanan promo yang ditawarkan juga sebagai edukasi kepada masyarakat dalam melakukan transaksi nontunai. Biaya yang harus dikeluarkan untuk edukasi ini juga dinilai murah oleh manajemen. "Uang yang dikeluarkan untuk edukasi melalui promo ini jauh lebih murah, mengingat waktu singkat yang kami butuhkan untuk berkembang," kata Chrisma. Ia mengklaim penggunaan DANA saat ini semakin meningkat. Bahkan, 60 persen transaksi dilakukan tanpa promo.

PT Visionet Internasional (OVO) menyatakan program promosi tidak bergantung pada besaran porsi kepemilikan Lippo Group pada perusahaan. Sebab, manajemen sudah memiliki rencana bisnis yang di dalamnya termasuk program promosi. "Saya kira (program promosi) itu tidak tergantung dari pemilik modal tertentu. Ini kan board (dewan), lalu kami dari sisi manajemen merumuskan business plan (rencana bisnis)," ujar Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra di Jakarta.

Kendati demikian, Karaniya tak memungkiri rencana bisnis tetap harus mendapatkan persetujuan dari pemilik modal. Perusahaan memang terbilang jor-joran dalam memberikan promo kepada pengguna selama beberapa waktu terakhir. Promo tersebut berupa diskon maupun cash back atas transaksi pembayaran yang dilakukan di mitra merchant. OVO telah aktif memberikan promosi diskon dan 'cash back' untuk menjaring pengguna. OVO disebut-sebut menjadi penantang Gopay di pasar uang elektronik.

Sebelumnya, dalam kesempatan yang berbeda, Presiden Direktur OVO Karaniya Dharmasaputra membantah soal rumor hengkangnya Lippo Group dari OVO sebagai penyuntik dana. Menurut dia, rumor tersebut sangat merugikan eksistensi OVO dan Lippo Group.

"Kami adalah perusahaan independen yang dikelola oleh manajemen profesional. Mana mungkin OVO berpisah dari pendirinya," kata Karaniya dalam keterangan resminya. Ia menegaskan bahkan telah berdiskusi panjang lebar dengan Direktur Lippo Group John Riady mengenai pengembangan perusahaan ke depan dan banyak diberikan masukan serta dukungan terhadap berbagai upaya pengembangan bisnis perusahaan.

Ia menilai promosi berbentuk cash back dan pemberian fasilitas lain merupakan hal yang biasa di dunia startup saat ini sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat. Karaniya mengatakan OVO adalah perusahaan penyedia layanan keuangan digital yang didirikan, dirintis, dan dikembangkan oleh Lippo Group. Saat ini, para pemegang sahamnya sudah sangat beragam, seiring meningkatnya kinerja dalam dua tahun terakhir.

"Tadi, istilah lepas saham itu kan kurang tepat. Sekali lagi saya ulang ya supaya tidak salah kutip," tegasnya.

Karaniya memaparkan perusahaan sedang mencari penambahan modal sehingga kepemilikan saham akan terdilusi. Dalam pencarian modal ini, pendiri perusahaan mengundang pemodal lain untuk menambahkan modalnya.

"Dalam hal itu bukan melepas saham. Modalnya diterima, kemudian tentu saham pendiri akan terdilusi," papar Karaniya. Berbeda jika pendiri yang akan menambah sendiri modal usaha, maka saham tidak akan terdilusi.

"Jadi sekarang pemegang saham OVO sudah sangat diverse (beragam)," ungkap Karaniya.

Karaniya memaparkan, OVO didirikan oleh Lippo seperti Bukalapak yang didirikan oleh Achmad Zaky atau Gojek oleh Nadiem Makarim. Sehingga, tidak mungkin Lippo melepas saham OVO. Karaniya memaparkan justru saat ini perusahaan tengah melakukan pencarian modal karena bisnis OVO yang semakin besar.

"Perusahaan teknologi ini kan melakukan kampanye dan marketing. Usahanya semakin besar. Karena itu harus melakukan fund raising. Wajar kan?" ungkap Karaniya.

Loyalitas Pelanggan Tidak Akan Terjadi Dengan Program Diskon Besar Besaran

Pengeluaran membengkak lantaran perusahaan tidak mampu membuat strategi dan rencana bisnis yang mampu memberikan nilai tambah bagi konsumen terkecuali dalam hal secara terus memberikan banyak diskon hingga cash back. Jika terus-menerus dilakukan, perusahaan akan butuh waktu lebih lama bagi untuk membukukan keuntungan atau bahkan bisa bangkrut sebelum meraih laba bila tidak mampu menemukan investor besar untuk menambah dana promosi.

Ritual bakar uang kemudian menjadi satu-satunya strategi yang bisa dilakukan perusahaan teknologi finansial (fintech) pembayaran untuk menggaet pasar apabila tidak mampu memberikan added value terhadap konsumen. Hal ini menjadikannya sama dengan strategi fintech pembayaran lain, seperti GoPay, Dana, dan LinkAja. Sifat keempatnya bisa dibilang hampir sama, yakni rajin menebar diskon besar-besaran kepada pengguna aplikasi terkecuali GoPay yang mampu mengkaitkan pembayaran digitalnya dengan manfaat nyata kepada para konsumennya.

Pada industri yang sebenarnya masih baru, masih banyak kesempatan mencari ceruk pasar bagi para pelaku pasar yang cukup kreatif dan cepat untuk bertindak.

Namun strategi bakar uang berupa pemberian diskon dan cash back secara masif ini banyak dipadang mampu memberikan kekuatan tersendiri untuk bertahan dan menarik pasar secara cepat. Sebagai industri startup yang baru lahir, tentu fintech sektor pembayaran juga belum stabil. Ibarat manusia, mereka masih mencari jalan atau jati diri untuk menjadi dewasa. Jadi, jelas ongkos untuk mempertahankan eksistensinya pun lumayan besar karena proses tiru meniru yang dilakukannya membuat persaingan semakin sengit. Ketika perusahaan sudah mendapatkan pasarnya, mereka harus segera menjalankan bisnisnya secara normal. Dengan kata lain, promo yang diberikan tak perlu lagi secara jor-joran asal para pelanggan mereka tidak pindah ketempat lain.

Namun,tidak bisa dipungkiri risiko investasi di bisnis seperti ini sangat besar. Terutama mereka yang tertarik memakai produk adalah mereka yang sensitif terhadap harga karena program diskon yang super wah tersebut hingga loyalitas pengguna akan minimum.

"Banyak tawaran cashback (pengembalian uang) dari e-money (uang elektronik). Akhirnya, bikin semua akun," curhat Asteria, salah satu konsumen. Tawaran cashback cukup menggiurkan Asteria hingga akhirnya ia memiliki empat e-money sekaligus. Alasannya sederhana, demi menikmati momentum 'bakar duit' para pelaku usaha e-money.

Walaupun, ketika ditanya sampai kapan akan menggunakan keempat e-money itu, Asteria tak menjawab pasti. "Pasti akan mengurangi dua dari 4 e-money sekarang. Sambil menunggu yang mana yang mulai sedikit memberi promo atau cashback," jelasnya.

Cerita senada datang dari konsumen lain, Surya. Karyawan swasta ibu kota tersebut mengaku ketergantungan menggunakan ojek online (ojol). Nah, untuk memudahkan mobilitas sehari-hari bersama ojol, ia memilih dua e-money yang terhubung dengan aplikasi transportasi daring itu.

"Belum tahu nih bakal terus pakai yang mana. Sementara sih, pakai yang lagi banyak kode promo saja," ungkap Surya.

Cashback memang menjadi fenomena sejak kehadiran e-money dalam 4 tahun-5 tahun terakhir. Tidak cuma di ibu kota, tetapi juga kota-kota besar lainnya. Tengok saja, jika Anda berjalan ke satu pusat perbelanjaan (mal), tidak jarang papan bertuliskan diskon dengan angka ciamik menghias halaman muka restoran dan tempat jajan. Padahal, gimmick diskon atau cashback itu diiringi sederet syarat dan ketentuan.

Jika Anda kurang jeli melihat syarat dan ketentuan tersebut, kedok diskon atau cashback 'selangit' ternyata cuma 'janji surga.' Pun demikian, tidak dapat dipungkiri iming-iming diskon selangit berhasil membuat konsumen merogoh kocek mereka.

Transaksi E Money Meningkat 209 Persen Tahun 2019

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan volume transaksi uang elektronik hingga akhir 2018 meroket 209,8 persen menjadi 2,9 miliar transaksi. Hingga Juli 2019, angka transaksinya bahkan nyaris menyamai sepanjang tahun lalu dengan total transaksi 2,7 miliar.

Secara nilai, transaksi uang elektronik mencapai Rp47,2 triliun per 2018. Per Juli 2019, nilai transaksi ini tembus Rp69 triliun.

Riset iPrice bersama App Annie memprediksi transaksi e-money bisa menyentuh US$25 miliar atau Rp350 triliun pada 2023 mendatang. Potensi transaksi ini memperhitungkan penetrasi internet yang baru 32,3 persen dan pasar ponsel pintar (smartphone) sebesar 40 persen.

Peningkatan transaksi boleh dibilang tak terlepas dari banyaknya promo dan cashback yang diberikan penyelenggara demi memanjakan konsumen. Tak cuma itu, ruang untuk berkembangnya digital payment, khususnya e-money, masih sangat luas. Data iPrice per 12 Agustus 2019 melansir tiga pemain e-money besar dengan pengguna terbanyak masih diduduki oleh pemain lokal, yaitu Go-Pay, OVO, DANA.

Topik Terkait

NewsDigital MarketingFinanceStart Up
Naila Akbar

Naila Akbar

Mendapat gelar BA dalam Hubungan Internasional dari Universitas Carleton dan pernah bekerja sebagai reporter di berbagai kantor berita di Asia. Ia sangat menyukai topik HRD dan bisnis UKM
Masalah Bisnis? Kami Siap Membantu
  • Growth Strategy
  • Digital Marketing
  • Sales Operational
  • Business Development