Tan Ek Tjoan Bisnis Roti UKM Yang Mampu Bertahan 3 Generasi

Tan Ek Tjoan Bisnis Roti UKM Yang Mampu Bertahan 3 Generasi

Sejarah Berdirinya Roti Tan Ek Tjoan Bakery

Pada mulanya Tan Ek Tjoan merintis usaha roti di Bogor. Istrinya, Phia Lin Nio, pandai membuat roti. Sedangkan Tan Ek Tjoan membantu penjualan roti dari segi bisnis. Berkat keterampilan membuat roti dan kerja kerasnya dibukalah toko bakery pertama di Bogor pada tahun 1921. Kala itu banyak orang Belanda yang menjadi pelanggan sehingga bisnis Tan Ek Tjoan juga dapat cepat berkembang.

Bahkan, ketika Tan Ek Tjoan meninggal tahun 1950, usaha rotinya semakin maju. Tahun 1953 itu sebenarnya pertama kali buka di daerah Tamansari yang merupakan rumah keluarga yang cukup besar menurut tutur Ibu Wawa, menantu dari Tan Bok Nio, anak perempuan Tan Ek Tjoan. Setelah itu pada tahun 1955, Phia Lin Nio membuka cabang baru lagi dikawasan Cikini yang merupakan tengah kota, tempat expat belanda dan pusat kuliner pada saat itu. Dari sana justru makin besar bisnis rotinya.

Sepeninggal Phia Lin Nio tahun 1958, bisnis roti Tan Ek Tjoan diwariskan kepada kedua anaknya: Tan Bok Nio dan Kim Tamara alias Tan Kim Thay. Cabang Cikini Jakarta diberikan kepada Kim Thay, sementara Tan Bok Nio memegang outlet Tan Ek Tjoan Cabang Bogor. Kedua usaha memiliki manajemen yang terpisah.

Sistem Penjualan Kuliner Dan Distribusi Menggunakan Gerobak

Di bawah kepengurusan Tan Kim Thay, roti Tan Ek Tjoan mulai menggunakan jasa pedagang gerobak untuk pemasaran sekaligus bermitra dengan masyarakat sekitar pabrik. Kim Thay menikah dengan warga Belanda, Elisabeth Tamara Arts. Dari pernikahannya, lahir Robert dan Alexandra Salinah Tamara, yang merupakan teman Josey. Alexandra dan Robert tumbuh besar dan lebih banyak menghabiskan waktu di negeri Belanda sehingga tak banyak ikut campur dengan bisnis roti keluarga.

Di Cikini, pabriknya berada di belakang toko. Sebagian besar roti-roti itu disebar dengan menggunakan sepeda gerobak. Saat ini ada 100 sepeda gerobak yang beredar di sekitar Jabodetabek. Pada masa jayanya sebelum keran investasi asing dibuka masuk ke Indoensia, sempat ada 300 sepeda gerobak.

Para pedagang itulah yang menjual roti kepada orang-orang Belanda yang berada di sekitar Cikini, dan kemudian meluas ke daerah-daerah lain, seperti Ciputat, Tangerang, Cinere, dan Bekasi.

Baca : Mengelola Bisnis Kuliner Agar Sukses Seperti Manna Healthy Bakery

Adanya persaingan dengan butik roti dari perusahaan besar asing yang ada di mal dan pusat perbelanjaan membuat usaha Tan Ek Tjoan mengalami penurunan. Untuk mengatasi masalah itu maka perusahaan roti tersebut memutuskan melakukan pendekatan brand aktivasi dengan konsumennya yaitu dengan mengadakan event tour ke pabrik roti bagi murid-murid sekolah hingga para wisatawan dengan guide khusus.

Bakery Roti Tan Ek Tjoan Berpindah Kepemilikan

“Waktu ayah Alexandra meninggal, usaha roti ini juga diserahkan kepada pegawainya yang sudah kerja lama, sementara mereka tinggal di Belanda. Jadi benar-benar enggak terurus,” kata Josey, 58 tahun.

Josey kenal Alexandra, cucu Tan Ek Tjoan, di acara reuni sekolah dasar. Meski keduanya keturunan Tionghoa, Josey dan Tamara sempat menempuh pendidikan sekolah Belanda di Jakarta. Josey sudah lama berbisnis properti dan tambang.

Makanya dia ragu saat Alexandra menawarinya untuk mengelola bisnis Tan Ek Tjoan. Bisnis roti jadul tak pernah terlintas di pikirannya. “Apalagi Tan Ek Tjoan dalam bayangan saya jualan roti dengan gerobak. Duitnya ada di mana?” kata Josey.

Lantaran diminta Alexandra, Josey memeriksa pengelolaan pabrik Tan Ek Tjoan. Josey penasaran mengapa, sejak diurus oleh pegawainya yang sangat loyal dan awet, bisnis bakery Tan Ek Tjoan lebih banyak membukukan rugi bersih daripada mengalami peningkatan penjualan dan untung.

Rupanya manajemen yang diterapkan sang pegawai memang tipe manajemen chaos amburadul. Tambah diperparah lagi banyak pegawai yang loyal dan awet ternyata hanya supaya bisa korupsi.

Baca : Cara Membedakan Karyawan Loyal dan Bukan Hanya Sekedar Awet Tetapi Suka Korupsi

“Ya, ini kenyataan yang saya sampaikan kepada Alexandra. Tapi, saat memeriksa kondisi Tan Ek Tjoan, saya mulai tertarik. Walaupun saya enggak ngerti roti, saya lihat bisnis ini bisa gede,” Josey menjelaskan pertimbangannya menerima tawaran Alexandra untuk mengambil alih bisnis Tan Ek Tjoan bersama seorang temannya Kennedy Sutandi yang kini menjabat sebagai Direktur Operasional Tan Ek Tjoan Bakery.

Strategi Mengembalikan Kejayaan Bisnis

Bertahun-tahun Josey harus pontang-panting menerapkan strategi untuk mengembalikan kejayaan bisnis roti Tan Ek Tjoan. Kini produk Tan Ek Tjoan bukan lagi Tan Ek Tjoan zaman dulu. Sudah lama Tan Ek Tjoan downgrade alias turun kelas. Dengan masih mengandalkan gerobak sebagai ujung tombak penjualan, pelanggannya sekarang kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke bawah. Padahal dulu penganan Tan Ek Tjoan masih dinikmati oleh orang Belanda dan kebanyakan kalangan berduit.

“Tan Ek Tjoan sekarang ini malah keberatan di nama. Jujur saja ya, kalau saya enggak ada usaha lain, enggak bisa makan. Bisa jalan tapi belum bisa dikatakan menghasilkan untung. Karena kadang dia untung, kadang rugi karena masih menjaga peralatan,” kata Josey. Menurutnya, produksi roti Tan Ek Tjoan sekitar 9.000 roti per hari masih jauh di bawah produksi optimum.

Untuk menaikkan kelas roti Tan Ek Tjoan menjadi raja roti premium seperti dulu, Josey berencana membuat produk baru untuk pasar menengah-bawah.

Baca : Tehnik Mendatangkan Pelanggan Untuk Bisnis Yang Baru Mulai

Josey bercerita, meski dalam hal produksi masih kalah jauh dari perusahaan modern, masih ada pelanggan yang setia pada merek atau brand Tan Ek Tjoan. Ia bahkan pernah kena omel karena mengubah resep roti gambang. Roti yang terbuat dari gula aren ini identik dengan tekstur kerasnya. Pelanggan itu marah karena Josey justru membuat roti gambang jadi lebih empuk.

“Kami ditelepon, dimarah-marahin, mengapa rotinya jadi begini. Tapi komplain itulah yang bikin saya senang dan makin terpacu. Berarti mereka perhatiin dan memiliki brand engagement. Mau enggak mau, kualitas kita enggak bisa begini,” kata Josey.

Roti Favorit Kesukaan Bung Hatta

Wakil Presiden RI Mohammad Hatta termasuk salah satu yang pernah mencicipi roti yang memiliki ciri khas bertekstur keras itu. Seperti dikisahkan Mangil Martowidjojo dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno, Bung Hatta menyempatkan diri berhenti di depan toko roti Tan Ek Tjoan di Bogor. Ia menyuruh Sardi, pengawalnya, untuk membeli roti. Uang Rp 5 diberikannya, sementara Sardi membeli roti seharga Rp 3,75.

Horst Henry Geerken, seorang ekspatriat asal Jerman yang pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun, juga memiliki kenangan tersendiri terhadap roti ini. “Untuk roti tentunya hanya ada roti tawar. Sopir kami harus membelinya di Bogor, 40 kilometer jauhnya dari Jakarta. Tan Ek Tjoan adalah satu-satunya toko bakery di sekitar itu yang bisa memperoleh tepung impor

Memakai Mesin Kuno Asal Belanda

Pada awal masa berdirinya mesin oven yang dipakai hanya terbuat dari batu bata, semen putih, dan campuran gula pasir. Gula pasir dipakai karena bisa berfungsi sebagai penyimpan panas. Kini produksi roti manis per harinya mencapai 10.000 pieces dan roti tawarnya 400 pieces. Mereka mulai memproduksi roti dimulai dari pukul 02.00-10.00. Setiap hari kecuali hari Sabtu, karena pada hari itu mesin istirahat dan dibersihkan.

Mesin pembuat roti Tan Ek Tjoan memang sudah uzur. Maklum saja, roti Tan Ek Tjoan berdiri sebelum Indonesia merdeka. Saat ini status kepemilikan pabrik roti Tan Ek Tjoan, sudah berpindah tangan pada Josey R. Darwin dan ia tak memiliki hubungan darah dengan pendiri asli. Cucu Tan Ek Tjoan, Alexandra Tamara, yang meminta Josey untuk mengambil alih perusahaan milik orangtuanya itu sejak tahun 2010.

Dari yang hanya menggunakan cara tradisional, kini Tan Ek Tjoan sudah membuat roti dengan mesin. Mulai dari mixer, mesin penimbang roti, sampai pembakaran roti di ruang oven besar. Oven dengan suhu sekitar 200 derajat Celcius itu bisa muat hingga 240 buah roti manis. Pemanggangan roti manis hanya perlu 15-20 menit. Sedangkan untuk roti tawar membutuhkan waktu 30-40 menit. Kalau lebih dari waktu yang ditentukan membuat roti menjadi kempes.

Pernah suatu hari seorang teknisi mesin dari Belanda datang mengunjungi pabrik Tan Ek Tjoan di kawasan Ciputat, Jakarta Selatan. Menurut data arsip perusahaan tempat pria ini bekerja, Tan Ek Tjoan pernah memesan sebuah mesin proofer untuk mengembangkan adonan. Dia mengutarakan maksud dan tujuannya kepada Josey untuk mengecek keberadaan mesin tersebut.

Mesin-mesin asal Belanda yang digunakan pabrik roti Tan Ek Tjoan ini sudah amat langka. Maka tak mengherankan jika seri tahun pembuatan pada mesin proofer roti ini sudah tak dapat dikenali. Betapa takjubnya sang teknisi, mesin yang dikira sudah waktunya masuk gudang itu ternyata masih operasional dengan baik. Dia menyarankan Josey memuseumkan mesin ini karena sudah masuk kategori barang antik.

“Saya jawab saja, jangankan bikin museum, bikin perusahaan survive saja sudah setengah mati. Kalau ini benar-benar antik, bawa saja ke Belanda dan gantiin dengan dua biji mesin baru kayak gini. Iya, dong. Kan barang antik, harganya pasti mahal,” Josey bercanda.

Mempertahakan Ciri Khas Bisnis Bakery Tan Ek Tjoan

Nama Tan Ek Tjoan memang tak bisa lepas dari kesan roti jadul atau roti bukan dari zaman now. Namun mempertahankan kualitas roti jadul malah sulit. Produk Tan Ek Tjoan ini memang memiliki tekstur yang beda. Rotinya tebal dan padat sehingga maka sebuah saja sudah sangat kenyang.

Josey mengaku belum puas dengan kualitas roti Tan Ek Tjoan yang ia buat. Meski resep yang digunakan masih sama, terdapat beberapa perubahan takaran bahan baku. Salah satu penyebabnya adalah harga jual menjadi tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat roti jadul Tan Ek Tjoan seperti aslinya dulu.

“Kalau bicara jujur, quality is the price dan ini masih jomplang. Saya sih bangga bisa punya Tan Ek Tjoan, tapi bangga doang enggak cukup. Jadi, selama masih bisa bertahan hidup, ya happy happy sajalah,” katanya.

Roti Tan Ek Tjoan masih mempertahankan resep lama yang sudah diturunkan kepada anak-anaknya, yang kini sudah generasi ketiga menjalankan usaha tersebut. “Kami tetap mempertahankan resep yang ada dan hanya orang tertentu saja dipercaya dan memiliki integritas saja yang boleh mengetahui resepnya. Ketika sudah ada ditangan karyawan bahan-bahan tersebut sudah dikemas, tinggal memasukkan saja dalam mixer,

Topik Terkait

Growth HackingInspirasiMarketing PlanUsaha Kuliner
Naila Akbar

Naila Akbar

Mendapat gelar BA dalam Hubungan Internasional dari Universitas Carleton dan pernah bekerja sebagai reporter di berbagai kantor berita di Asia. Ia sangat menyukai topik HRD dan bisnis UKM
Masalah Bisnis? Kami Siap Membantu
  • Growth Strategy
  • Digital Marketing
  • Sales Operational
  • Business Development