Satu dari lima karyawan melaporkan terjadinya krisis budaya dalam perusahaan mereka dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini. Krisis yang dimaksud adalah seperti pelecehan seksual, diskriminasi, korupsi, penipuan terhadap pelanggan, mengabaikan keselamatan kerja hingga kesewenang-wenangan pimpiman.
Riset dari lembaga United Mind dan KRC Research juga menunjukan bahwa hanya 28 persen karyawan menemukan hubungan antara tindakan perusahaan dengan visi misi mereka.
Kenyataan ini menunjukan bahwa budaya perusahaan atau corporate culture yang telah menjadi beban. Padahal seharusnya menjadi aset dari organisasi yang mendukung pertumbuhan atau growth dari organisasi itu sendiri.
Kelanjutan dari gerakan #MeToo ini telah meningkatkan pengawasan dari pemerintah serta membuat investor mulai kritis. Kritis untuk bertanya pada dewan direksi maupun CEO terhadap pentingnya menjaga budaya perusahaan yang sehat.
Strategi dan corporate culture merupakan simbiosis mutualisme yang menjadi penggerak utama pertumbuhan perusahaan
Belakangan ini banyak dari klien kami juga mulai bertanya, Adakah hal hal dari budaya perusahaan yang menghambat pertumbuhan atau growth?
Sebagian besar juga berkomitmen untuk memperkuat corporate culture yang sehat dan menunjang pertumbuhan perusahaan sebagai prioritas bisnis utama ditahun 2020. Perusahaan ini secara proaktif mendukung growth dengan memperhatikan dan menjaga budaya yang etis dan sehat. Budaya ini yang sangat dibutuhkan untuk tetap dapat berkembang secara cepat.
Baca Juga : Growth Mindset dan Penerapannya
Sebuah survey dilakukan untuk menemukan budaya perusahaan yang beresiko menurunkan pertumbuhan dan perkembangannya. Survey ini juga ditujukan untuk menguji faktor penting apa saja yang dapat menjadi indikator serta dapat diramalkan.
Survey ini meliputi 1000 karyawan tetap yang berumur 18 tahun keatas. Mereka yang juga telah bekerja pada perusahaan dengan jumlah pegawai lebih dari 500 orang dilakukan sebagai bahan penelitian.
Dengan menggunakan metode statistik untuk menganalisa data tersebut maka berhasil ditemukan 6 faktor sebagai indikator. Faktor tersebut mampu mengindikasikan bahwa telah terjadi kebobrokan corporate culture dalam sebuah organisasi. Dimana faktor itu menghampat laju pertumbuhan atau growth perusahaan dalam meningkatkan keuntungan.
Faktor 1 : Tidak Melakukan Investasi Pada Karyawan
Faktor pertama ini adalah indikator utama yang dapat menjadi ukuran resiko telah terjadinya kebobrokan mental pada budaya perusahaan. Investasi pada sumber daya manusia adalah investasi pada budaya yang sehat. Seperti menghilangkan budaya favoritisme dan mendukung budaya meritokrasi, meniadakan budaya politik ditempat kerja. Hal ini pada akhirnya akan memberikan hasil yang baik dan dapat memicu pertumbuhan perusahaan Anda naik kelevel berikutnya.
Banyak pemilik bisnis melupakan bahwa ketika seorang karyawan bergabung dengan perusahaan Anda, yang sebenarnya terjadi adalah negosiasi bisnis. Negosiasi dimana mereka menerima kompensasi, perkembangan karir serta tunjungan lain atas jasa keahlian serta keterampilan yang mereka lakukan untuk perusahaan.
Apabila seorang karyawan merasa bahwa perusahaan tidak menepati janji atau melakukan wanprestasi terhadap negosiasi bisnis. Karyawan juga tidak akan menepati perjanjian tersebut. Mereka akan menjadi tidak memiliki inisiatif dalam bekerja, menunjukan tingkah laku pasif agresif dan sebagainya.
Ketika perilaku ini merajarela, perusahaan tersebut akan berada pada posisi yang berbahaya dalam menghadapi kompetisi bisnis dengan perusahaan lain.
Divisi HRD harus berani dan tegas mengkomunikasikan dengan jelas pada semua karyawan tentang nilai-nilai perusahaan termasuk program yang detail serta imbalannya yang mana harus secara jelas mampu menjawab pertanyaan : Apa yang saya dapatkan? Serta memastikan bahwa setiap janji janji perusahaan terpenuhi secara tepat waktu.
Jargon jargon seperti "Jangan tanyakan apa yang perusahaan berikan buat Anda tapi tanyakan apa yang Anda dapat berikan untuk perusahaan" adalah sebuah slogan yang sudah sangat ketinggalan zaman yang juga menandakan buruknya corporate culture ditempat kerja tersebut.
Seperti layaknya negosiasi bisnis, semua pihak - karyawan dan perusahaan, wajib memenuhi janji janji mereka pada saat yang bersamaan dan tepat waktu.
Faktor 2 : Rendahnya Akuntabilitas
Sepertiga dari karyawan percaya bahwa perusahaan tempat mereka bekerja tidak secara konsisten meminta pertanggungjawaban dari karyawan yang melakukan pelanggaran.
Budaya favoritisme atau tebang pilih atau pilih kasih ini membuat banyak karyawan berpikir tidak adanya konsekuensi hukum atau hukuman dikeluarkan secara tidak adil maka mereka akan memakai hal tersebut sebagai pembenaran untuk tidak melaporkan pelanggaran, kecurangan ataupun korupsi yang dilakukan oleh karyawan lain.
Ini akan berkembang dikemudian hari menjadi alasan pembenaran mereka untuk melakukan hal serupa.
Banyak perusahaan melakukan pembenahan pada bidang ini melalui intensifikasi program perlindungan whistleblower dengan mengumumkan hukuman disiplin bagi para pelanggarnya sementara menyembunyikan identitas pelapor atau melalui kampanye memanusiakan departmen HRD dan departemen hukum yang selama ini selalu dipersepsikan oleh karyawan sebagai departemen yang hanya mendukung kepentingan pemilik bisnis dan para top level manajernya untuk meningkatkan kepercayaan dan integritas perusahaan dimata karyawannya.
Faktor 3 : Kurangnya Keberagamaan dan Kesetaraan
Faktor keberagaman dan kesetaraan gender ini adalah fakotr ketiga untuk mengidentifikasikan perusahaan perusahaan dengan corporate culture yang dapat menghambat pertumbuhan.
Semakin beragam karyawan sebuah perusahaan mulai dari dewan direksi, manajer hingga lapisan terbawah, semakin sehat budaya perusahaan tersebut.
Dengan banyaknya pelecehan seksual dan diskriminasi seks semakin banyak perusahaan yang melakukan peninjuan ulang kebijakan mereka serta membuat dewan direksi mereka lebih beragam secara gender, suku, ras maupun agama.
Beberapa perusahaan juga secara aktif menerapkan kerja non-inklusif dimana karyawan yang bermasalah dipisahkan untuk kembali dibina sehingga kerusakan moral yang terjadi tidak menyebar pada yang lain.
Beberapa industri cukup terkenal dengan budaya perusahaan yang sangat buruk karena kurangnya keberagaman pada karyawannya.
Perusahaan teknologi selalu berada dalam daftar tersebut. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi mengapa terjadi brain drain pada perusahaan teknologi, sebesar 40 persen mereka berhenti bekerja pada perusahaan teknologi dikarenakan mendapatkan perlakuan tidak adil, stereotip, pelecehan seksual dan kekerasan fisik.
Budaya pemujaan terhadap superioritas kulit putih telah menjadikan para pekerja dari Asia, baik pria dan wanita mengalami pelecehan dan kekerasan ditempat kerja tersebut.
Banyak dari klien kami bertanya bukankah perusahaan teknologi yang disebut memiliki budaya perusahaan yang buruk tersebut mampu mendapatkan growth yang luar biasa besar? Jawabannya adalah Ya.
Akan tetapi bila kita menelusuri lebih jauh sumber pertumbuhan yang luar biasa tersebut hanya berasal dari satu orang yaitu seorang founder yang berhasil menemukan teknologi yang disruptif. Ironisnya hal itu terjadi sebelum perusahaan itu memiliki karyawan sama sekali.
Tetapi setelah itu tidak ada lagi menghasilkan sesuatu yang inovatif maupun kreatif, apalagi disruptif. Semua pertumbuhan yang terjadi setelah itu akibat dari merger untuk mengurangi kompetisi seperti yang pernah kita bahas dalam artikel lain.
Faktor 4 : Tingkah Laku Pimpinan Yang Buruk
Kita semua mengetahui bahwa orang selalu mencontoh figur pemimpin sehingga bukanlah hal yang mengherankan bahwa perilaku pemilik bisnis akan tercermin melalui karyawannya. Banyak sekali contoh dimana seorang pimpinan perusahaan diberi penghargaan atas pencapaian mereka tanpa melihat bagaimana cara mereka mencapainya.
Sebanyak sepertiga pegawai mengemukakan bahwa perilaku CEO atau pemilik bisnis tempat mereka bekerja tidak sesuai dengan nilai perusahaan yang mereka miliki.
Tahun 2018 adalah tahun puncak, sampai saat ini, dimana begitu banyak para CEO diberhentikan dengan tidak hormat bukan karena performanya yang buruk atau target yang tidak tercapai akan tetapi karena tingkah laku mereka yang tidak etis dan bermoral.
Berdasarkan temuan PWC, sebanyak 39 persen dari CEO diberhentikan karena kasus pelecehan seksual ditempat kerja atau karena kasus penyuapan pejabat pemerintah, insider trading hingga penipuan laporan keuangan.
Kasus kasus seperti ini dapat terungkap karena dewan direksi dan pemilik perusahaan yang menekankan perlunya CEO untuk dapat memberikan teladan dan panutan bagi bawahan mereka.
Faktor 5 : Target Bisnis Yang Tidak Rasional
Penetapan target pertumbuhan yang tidak masuk akal atau target yang selalu bergerak akan menciptakan lingkungan kerja dengan tekanan dan stress yang tinggi.
Lingkungan kerja dengan tingkat stress yang tinggi ini akan menurunkan performa karyawan paling sedikit 30 persen. Hal ini berakibat kontraproduktif untuk perusahaan serta menjadi ladang subur bagi bertumbuhnya bibit corporate culture yang buruk.
Sebanyak 37 persen dari karyawan berpendapat bahwa perusahaan tempat mereka bekerja enggan melakukan tindakan untuk mengurangi tekanan dan tingkat stress ini, dimana lebih mengutamakan pertumbuhan dan laba bersih dan mengorbankan nilai nilai moral serta kesejahteraan para karyawannya.
Bahkan faktor kelima ini yang seluruh karyawan menaruh ranking perusahaan mereka yang paling rendah dan mengidentifikasikan bidang ini sebagai tempat dimana banyak sekali cara untuk melakukan perubahan.
Deadline yang tidak realistik, target penjualan yang terlalu agresif dan sistem insentif yang tidak jelas telah membawa orang orang melakukan hal hal yang ekstrem bahkan ilegal semata-mata untuk mencapai tujuan tujuan bisnis.
Faktor 6 : Tidak Adanya Standar Moral Yang Jelas
Faktor akhir yang menjadi penentu buruknya corporate culture sebuah perusahaan adalah tidak adanya panduan moral yang jelas. Sebagian dari klien kami juga belum mendefinisikan corporate value mereka, dimana nilai tersebut dapat menjadi panduan bagi tingkah laku karyawan.
Bilapun nilai tersebut ada, namun tidak adanya sistem atau prosedur yang jelas tentang bagaimana cara menerapkannya dalam keseharian diperusahaan tersebut. Hal ini juga menyebabkan para karyawan ragu-ragu untuk menjelaskan tentang nilai nilai perusahan tersebut.
Perusahaan dapat bersama-sama dengan para karyawan mereka untuk membentuk nilai-nilai yang disetujui. Hal ini membuat mereka dapat lebih merasa memiliki dan menjiwai nilai tersebut. Akan tetapi tentu saja, menetapkan nilai nilai dan prinsip itu hanyalah langkah pertama.
Langkah selanjutnya adalah bagaimana menerapkan dan menegakakn prinsip dan nilai tersebut. Nilai prinsip tersebut harus dalam bentuk aturan yang jelas dan dapat menjadi pedoman. Ini nantinya akan menjadi katalis bagi perubahan corporate culture ke arah yang lebih baik.
Membina Corporate Culture Yang Baik
Membuat corporate culture yang baik membutuhkan usaha yang tidak sedikit dan tentu saja waktu panjang. Namun segala upaya dan waktu itu akan terbayar dengan growth atau pertumbuhan perusahan yang berkelanjutan. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membentuk budaya perusahaan yang baik yaitu :
Komitmen tertulis dari top manajemen
Peran serta yang aktif dan dukungan secara terbuka dari top manajemen adalah faktor terbesar dalam sebuah usaha untuk melakukan perubahan. Hal ini dimulai dengan memastikan bahwa dewan direksi dan CEO mengerti nilai nilai perusahaan. Mereka juga harus mengemban tanggung jawab untuk mengawasi dan menegakan nilai tersebut. Karena budaya perusahaan tidak bisa hanya dibebankan kepada departemen HRD semata.
Definisikan tingkah laku yang baik secara jelas
Apabila perusahaan Anda telah memiliki nilai-nilai yang baik, lakukanlah penilaian secara berkala. Evaluasi pengetahuan karyawan terhadap nilai tersebut termasuk dengan penerapannya dalam keseharian ditempat kerja.
Jangan takut untuk mengubah, memperbaharuinya atau mengganti tata cara pelaksanaannya tanpa perlu membuang nilai nilai inti Anda.
Sedangkan bila perusahaan Anda belum memiliki nilai inti, lakukan inisiatif segera untuk mendefinisikannya secara jelas.
Pastikan bahwa panduan tingkah laku tersebut tidak hanya sesuai dengan corporate culture yang inginkan tetapi juga sejalan dengan bisnis strategi yang ingin dicapai.
Untuk melakukan upaya yang berkelanjutan lakukanlah analisa secara rutin dan menilai ulang setiap proses yang dilakukan segera setelah terjadi penyimpangan. Komunikasi yang baik, training dan sistem insentif untuk menindak lanjuti temuan temuan baru dan merubah kearah perbaikan yang berkesinambungan dapat juga dipakai sebagai alat bantu.
Rangkailah nilai dari corporate culture kedalam rencana dan strategi tahunan perusahaan
Seringkali dalam melakukan perencanaan atau strategi bisnis dilakukan tanpa melihat dan dibimbing oleh nilai nilai prinsip dari perusahaan. Pertimbangan terhadap apakah nilai dari organisasi mendukung atau malah menghalangi tujuan-tujuan maupun target bisnis tersebut harus dilakukan.
Strategi dan budaya perusahaan harus dievaluasi terus menerus serta harus juga selaras satu dengan yang lainnya. Karena kedua hal ini adalah simbiosis mutualisme yang merupakan penggerak utama dari performa bisnis dari sebuah perusahaan.