Perusahaan multinasional Tupperware berencana memangkas jumlah pekerjanya demi menghemat uang operasional. Tak hanya itu, saham perusahaan tersebut juga turun 90 persen dalam setahun terakhir. Mengutip CNN Business, kondisi keuangan perusahaan yang memasarkan produk plastik untuk keperluan rumah tangga itu sedang buruk. Pihak perusahaan dan penasihat keuangannya mengatakan perlu dana tambahan agar bisa bertahan.
CEO Tupperware Miguel Fernandez mengatakan pihaknya sedang menjajaki potensi PHK dan meninjau portofolio real estatnya untuk upaya penghematan uang yang lebih potensial.
"Perusahaan melakukan segala daya untuk mengurangi dampak peristiwa baru-baru ini, dan kami mengambil tindakan segera untuk mencari pembiayaan tambahan dan mengatasi posisi keuangan kami," ucap Miguel Fernandez.
Bisnis yang sudah berjalan 77 tahun ini tengah diuji dengan tuntutan zaman. Tupperware telah mencoba untuk melepaskan citranya yang tenang dan mulai menarik pelanggan yang lebih muda dengan produk yang lebih baru dan lebih trendi.
Analis Ritel sekaligus Direktur Pelaksana GlobalData Retail Neil Saunders mengatakan ada beberapa masalah yang belakangan merugikan Tupperware. Seperti penurunan penjualan dan produk yang cenderung kolot. "Beberapa masalah merugikan Tupperware, termasuk penurunan tajam dalam jumlah penjual, penurunan konsumen pada produk rumah tangga dan merek yang masih belum sepenuhnya terhubung dengan konsumen yang lebih muda," katanya.
Saunders mengatakan Tupperware berada dalam posisi genting secara finansial karena berjuang untuk meningkatkan penjualan. Di sisi lain, aset perusahaan juga cenderung kecil, sehingga perusahaan tidak memiliki banyak kapasitas untuk mengumpulkan uang.
"Perusahaan ini dulunya merupakan sarang inovasi dengan gadget dapur pemecah masalah tetapi sekarang benar-benar kehilangan keunggulannya," katanya.
Perusahaan perkakas rumah tangga Tupperware terancam bangkrut. Hal ini terjadi lantaran kondisi keuangan perusahaan yang memburuk. Beberapa pakar bisnis mengatakan kondisi itu karena Tupperware yang gagal beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen. Kini, bisnis yang dimulai sejak 1946 itu harus menghadapi hutang yang menumpuk, penjualan yang menurun, dan harga saham yang anjlok.
Dalam pernyataan juru bicara Tupperware mengatakan buruknya performa merek tersebut dipengaruhi oleh "pandemi, inflasi, dan suku bunga yang tinggi." Mereka juga mengatakan telah bekerja sama dengan penasihat keuangan dan menjalin beberapa kemitraan dengan gerai ritel seperti Target dan Amazon untuk memperkuat posisi merek tersebut.
"Selama lebih dari 75 tahun, Tupperware Brands telah menjadi salah satu merek rumah tangga ikonis yang paling dicintai di dunia," ujar juru bicara Tupperware seperti diberitakan. "Dan kami sangat senang untuk tetap berada di tengah-tengah meja makan, meja dapur, dan rak dapur selama bertahun-tahun yang akan datang," imbuh pernyataan tersebut.
Tupperware Terlalu Mengandalkan Direct Selling
Menurut profesor pemasaran dari Sekolah Bisnis Wharton di Universitas Pennsylvania, Barbara Kahn, Tupperware terlalu terpaku pada pola bisnis direct selling alias penjualan langsung. Di masa lalu, kerap terdapat "Tupperware parties" atau sebuah pesta yang mempertemukan para pencinta merek tersebut untuk mencoba produk-produk terbaru perkakas dapur itu.
Istilah yang kerap dikenal sebagai "demo Tupperware" di Indonesia itu memang berhasil berjalan dengan baik di masa lalu, namun ketinggalan zaman karena kebiasaan konsumen yang telah berubah, bahkan beberapa dekade sebelum pandemi. Oleh karena itu, menurut Christie Nordhielm, konsultan marketing dari Sekolah Bisnis McDonough Universitas Georgetown, pandemi bukanlah satu-satunya faktor yang membuat bisnis Tupperware di ambang kehancuran.
Tupperware Gagal Berinovasi Dalam Harga
Namun, pandemi turut memperparah kiprah buruk penjualan Tupperware selama beberapa dekade terakhir yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku konsumen. "Anda seharusnya bisa melihat mereka bertransisi dengan mulus. Tetapi sebaliknya, mereka malah melakukan pendekatan ke toko batu bata dan bahan bangunan" ujar Nordhielm menyoroti kebijakan Tupperware yang memilih untuk ekspansi ke toserba Target.
"Jika Anda pergi dan melihat Tupperware di Target yang Anda lakukan hanyalah melihat betapa tidak ada bedanya mereka dengan pilihan merek penyimpanan lain yang tersedia," jelas Nordhielm.
Tupperware baru saja memperkenalkan produk mereka ke Target pada musim gugur tahun lalu. Namun, Kahn menilai pendekatan itu sedikit terlambat. Senada dengan amatan Nordhielm, Kahn melihat keterlambatan itu hanya membuat Tupperware sebagai merek yang tidak lagi spesial. "Yang buruk, itu adalah salah satu dari hal-hal ini di mana merek mereka hampir generik, dan bukan dalam artian yang baik," kata Kahn.
Sementara di lain hal, Nordhielm juga menyoroti nama legendaris dari Tupperware yang bahkan digunakan untuk menyebutkan segala jenis merek penyimpanan. Menurutnya, faktor tersebut mungkin menjadi bagian dari masalah, karena merek lain muncul untuk bersaing dengan Tupperware, terkadang dengan harga lebih rendah.
"Nama merek yang hebat bisa menjadi berkah atau kutukan. Itu akan menjadi kutukan ketika Anda berpuas diri hanya berdasarkan nama merek tanpa ada investasi berarti dalam merek tersebut," jelas Nordhielm.
Baik Kahn dan Nordhielm mengamini jika Tupperware gagal menemukan inovasi dalam memperkenalkan merek mereka kembali kepada publik. Sehingga, nama besar merek Tupperware pun menjadi tanpa arti; karena saat ini, konsumen hanya memperdulikan harga yang terjangkau.