Dulu perjuangan untuk mengatasi ketidaksetaraan pendapatan selalu berkutat pada masalah uang. Yang akhirnya dijadikan sebuah misi dan alat yaitu untuk membantu orang miskin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga mereka dapat menikmati dan memperoleh bagian dari pembangunan ekonomi yang lebih besar atau dengan cara yang paling mudah seperti yang dilakukan banyak pemerintah diberbagai negara yaitu dengan memberikan yang bantuan uang tunai agar definisi kemiskinan tidak lagi dapat disematkan pada kelompok miskin tersebut.
Sekarang permasalahnya adalah bagaimana jika pendekatan terhadap ketidaksetaraan pendapatan itu tidak lagi relevan? Dalam artian bukan lagi soal pembagian uang yang tidak seimbang antara si kaya dan si miskin.
Dalam edisi terbaru Human Development Report oleh PBB melalui badan UNDP (United Nation Development Programme) menyatakan berpendapat bahwa pemikiran abad ke-20 tentang ketidaksetaraan pendapatan global tidak lagi dapat digunakan pada abad ke-21 yang sering disebut abad ekonomi digital dan teknologi.
Laporan itu menyebutkan bahwa generasi baru dari ketidakadilan sosial yang telah menyebabkan gelombang protes dan demonstrasi di jalanan dan merusak tatanan masyarakat, gelombang protes terhadap ketidakadilan sosial itu kini telah mendapat angin baru dan berkembang menjadi lebih buruk dari tahun ke tahun.
Setiap tahun UNDP mengamati pembangunan manusia (Human Development Index) di seluruh dunia. Tahun ini penulis mengatakan bahwa perubahan sosial yang besar yang terjadi dimasyarakat diseputar bidang teknologi, pendidikan dan perubahan iklim menciptakan ketidakadilan atau kesenjangan sosial besar baru. Achim Steiner, administrator UNDP, merangkum masalah yang terjadi yaitu:
Semakin banyak orang muda yang terdidik dan terjebak tanpa pilihan untuk maju
Ketidakadilan sosial global sekarang lebih tentang ketidaksetaraan dalam peluang daripada kesenjangan dalam masalah keuangan.
Ketidaksetaraan Semakin Meluas dan Semakin Lebar
"Apa yang kami lihat adalah baru pemulaan dari generasi baru ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial, khususnya yang berpusat di sekitar kelas menengah masyarakat," kata Steiner. "Apa yang orang mungkin 30, 40 tahun lalu didoktrinasi untuk percaya dan lihat disekitar mereka," kata Steiner, "adalah bahwa jika Anda bekerja keras, Anda bisa keluar dari jebakan kemiskinan." Namun dibanyak negara berkembang maupun negara maju saat ini, ia mengatakan hal tersebut hanyalah isapan jempol yang digaungkan oleh pemilik modal karena mobilitas sosial ke atas adalah pernah tidak terjadi" lagi. Dengan kata lain, seberapapun kerasnya Anda bekerja bila Anda lahir dari keluarga miskin, Anda akan tetap miskin dan bila Anda lahir dikeluarga kaya tanpa bekerjapun, Anda akan tetap kaya.
Human Development Report 2019 menyatakan bahwa banyak protes jalanan yang muncul di seluruh dunia didorong oleh perasaan yang berkembang bahwa masyarakat dicurangi untuk mendukung yang pengusaha pengusaha kaya yang menjebak masyarakat umum kedalam kehidupan dan lingkungan kerja yang berbasis upah rendah dan jalan buntu. Dengan ini maka dapat disimpulkan bahwa ketidaksetaraan itu bisa dimulai bahkan sebelum kelahiran atau dibuat oleh para penguasa agar diwariskan dari generasi ke generasi.
Generasi ketimpangan sosial yang baru ini menarik dan ini berhubungan dengan apa yang disebut dengan kesenjangan mikro karena hal tersebut menyangkut apa yang dianggap tidak adil disebuah negara, dalam komunitas dan ditengah masyarakat. Beberapa dari ketidakadilan itu bahkan dimulai sebelum lahir dan menjadi beban individu hingga dewasa.
Hal ini mungkin dan kadang-kadang ada hubungannya dengan pendapatan tetapi itu mungkin juga ada hubungannya dengan fakta bahwa seseorang lahir dalam keluarga dan lingkungan tertentu sudah mengawali hidup mereka dengan kerugian yang signifikan.
Teknologi dan Internet telah membuat orang jauh lebih sadar akan apa yang mereka lewatkan. Sistem pendidikan publik universal khususnya di negara-negara berpenghasilan menengah telah meningkatkan keinginan dan harapan para siswa tentang tanggung jawab para pemimpin politik mereka. Sementara petani penggarap prihatin dengan tanaman mereka atau kaum buruh yang kuatir bagaimana harus mencukupi kebutuhan keluarga mereka sehingga mereka tidak punya waktu untuk memperhatikan politik nasional tetapi generasi baru yang berusia muda namun berpendidikan tinggi dan pengangguran dengan akses internet seluler akan memiliki waktu dan nalar untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka.
Jadi di abad ke-21, orang-orang bukan saja jauh lebih menyadarinya tetapi mengerti mengapa kesenjangan dan ketidakadilan global yang sangat besar tetap terjadi.
Tidak Adanya Kesempatan Untuk Maju Membuat Pergolakan Sosial
Banyak tekanan hidup karena meningkatnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial serta kelas menengah yang hancur secara ekonomi atau paling tidak mendapat bahwa hidup mereka tidak sesuai dengan apa yang didengung dengungkan oleh para motivator maupun jargon jargon perusahaan telah menyebabkan terjadinya pemberontakan dan pergolakan dinegara Timur Tengah yang terkenal dengan nama Arab Spring. Seperti yang dikemukakan oleh Dana El Kurd, penulis Polarized and Demobilized, tentang otoritarianisme di Palestina, yang juga merupakan asisten profesor di Institut Doha untuk Studi Pascasarjana. Kesenjangan sosial dan ketidakadilan tersebut bukan salah satu sebab pergolakan sosial dinegara negara maju hingga berkembang akan tetapi faktor utama.
Dia mengatakan protes baru-baru ini yang terjadi di Lebanon dan Irak menandai perubahan dalam cara orang-orang di wilayah tersebut melihat beberapa masalah di negara mereka. Di masa lalu banyak konflik sosial di Timur Tengah dipandang hanya sebagai bentrokan antar etnis atau sektarian maupun aliran agama. Tetapi El Kurd mengatakan semua protes terbaru ini menggambarkan bahwa orang semakin frustrasi dengan elite politik mereka yang berkolaborasi dengan pengusaha untuk mencapai tujuan memperkaya diri sendiri dan bukan karena masalah Sunni atau Syiah. Sistem ekonomi dan politk telah mengecewakan banyak warga negara karena demokrasi yang mereka kenal telah secara perlahan-lahan menjadi sistem plutokrasi.
Apa yang kita saksikan dalam protes yang muncul di Irak bahwa kebanyakan warga Irak sudah menyadari bahwa elite politik yang mereka pilih dalam sistem demokrasi ini tidak mewakili siapa pun kecuali kepentingan diri mereka sendiri dan keluarganya. Dan apa yang digembar gemborkan sebagai masalah sektarian atau agama sebenarnya adalah masalah korupsi yang akut pada sistem pemerintahan. Ini adalah masalah ketidaksetaraan dan kesenjangan akses, sama persis dengan masalah politk yang terjadi Lebanon. Jadi di banyak tempat ini, hal yang terlihat semacam konflik sektarian padahal sebenarnya yang terjadi adalah konflik tentang ketidaksetaraan sosial dimana jurang si kaya dan si miskin yang makin melebar.
Dan frustrasi akan kesenjangan itu tidak hanya membara di Timur Tengah. Ada protes di seluruh dunia mulai dari aksi duduk di Wallstreet Amerika Serikat, kerusuhan di Prancsi, sedangkan di Amerika Latin muali dari Chili ke Kolombia. Demonstrasi yang dipimpin mahasiswa di Hong Kong tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Di bagian Afrika yang konservatif secara sosial, para wanita muda turun ke jalan sebagai bagian dari gerakan #MeToo global juga bermula dari masalah kemiskinan akut yang dalam banyak kasus, wanita yang menjadi korban pertamanya.
Pedro Conceição dari UNDP, yang mengawasi Laporan Pembangunan Manusia, mengatakan penelitian mereka menunjukkan bahwa ketidakadilan global ini memiliki dampak besar pada kehidupan individu.
Jika kita melihat apa yang terjadi pada seorang anak yang lahir pada tahun 2000 di negara dengan index human development yang rendah dibandingkan dengan anak yang lahir di negara dengan index human development yang tinggi, maka kemungkinannya adalah 17% bahwa anak dari negara dengan HDI rendah tidak akan hidup hari ini, Sementara di negara dengan HDI tinggi hanya ada 1% kemungkinan anak itu tidak hidup hari ini. Ketimpangan dalam HDI tetap saja luas.
Dan itu bukan hanya di bidang akses terhadap fasilitas kesehatan. Lebih dari separuh anak-anak yang lahir di negara kaya pada tahun 2000 terdaftar di universitas hari ini. Namun hanya 3% dari tahun-2000 bayi dari negara-negara termiskin berada di pendidikan tinggi.